Rabu, 29 Juni 2011

as-sunah

..........................................................................

Bulan Ramadhan akan segera tiba. Persiapan-persiapan menyambut kedatangan tamu agung ini pun mulai terasa dilakukan oleh masyarakat, baik persiapan yang ada hubungannya secara langsung dengan ibadah di bulan Ramadhan ataupun persiapan yang menjadi rutinitas atau adat. Diantara yang sudah menjadi rutinitas adalah ziarah kubur.


(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII)

Setan memiliki dua cara efektif untuk menggoda seorang Muslim dan menjerumuskannya ke dalam kesesatan. Pertama: apabila seorang Muslim adalah pelaku kemasiatan dan orang yang tidak memiliki komitmen kepada agama, maka setan memperindah kemaksiatan dan syahwat dalam pandangannya sehingga akan semakin asyik dengan perbuatan maksiatnya dan hanyut dalam syahwatnya. Kondisi ini akan semakin menjauhkannya dari perbuatan taat kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya. Kedua: apabila seorang Muslim tersebut orang yang taat dan ahli ibadah, maka setan menghiasi sikap ektrem dan berlebihan dalam agama agar agama orang ini rusak.
Di antara tipudaya setan terhadap kelompok kedua ini adalah menyeret mereka untuk mengikuti kebid’ahan dan salah kaprah dalam memahami ajaran agama Islam yang mulia ini serta menjauhkan mereka dari para Ulama yang dapat memberikan petunjuk dan bimbingan dalam upaya menempuh jalan yang lurus dan benar. Semua ini dilakukan agar semakin tenggelam dalam penyimpangan dan kesesatan.
Penyakit “salah kaprah dalam memahami ajaran Islam” telah terjadi sejak para Sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam masih hidup. Diawali dengan kemunculan embrio sekte Khawarij yang berawal dari salah kaprah dalam memvonis kafir lalu berlanjut ke pemberontakan dan akhirnya membunuhi kaum Muslimin yang telah mereka vonis kafir. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mensifati mereka dengan sabdanya :
يَقْتُلُونَ أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ اْلأَوْثَانِ
Mereka memerangi kaum Muslimin dan membiarkan penyembah berhala.
(Muttafaq ‘alaihi)

Mereka bisa demikian, karena dalam memahami nash-nash syari’at mereka menyelisihi pemahaman para Sahabat waktu itu. Oleh karena itu, ketika Sahabat yang mulia Ibnu Abbâs radhiyallâhu'anhu mendebat mereka dengan pemahaman yang benar, banyak diantara mereka menyatakan ruju’ kepada kebenaran dan meninggalkan pemahaman mereka yang keliru.
Jelas sekali setan mempermainkan akal kaum Khawarij sehingga mereka mengikuti hawa nafsunya dan bersandar penuh kepada kemampuan dan kedangkalan pemahaman mereka. Hal ini menyebabkan mereka enggan meruju’ kepada para Ulama dari kalangan para Sahabat yang telah jelas berada di atas petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Akibatnya mereka menyimpang dengan memvonis mayoritas kaum Muslimin waktu itu sebagai orang-orang kafir dan murtad dengan slogan :
إِنِ الْـحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
Tidak lain, Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allâh.

Alangkah miripnya hal ini dengan sebagian kaum Muslimin sekarang yang sibuk mengumandangkan slogan ini, lalu mulai menyematkan gelar kafir terhadap sebagian kaum Muslimin. Berawal dari mengkafirkan pemerintah, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif lalu menular sampai mengkafirkan semua orang yang mereka anggap ridha dan setuju dengan hukum-hukum “thaghût”. Akhirnya, darah mereka dianggap halal dan ditumpahkan begitu saja dengan pengeboman di negara yang notabene berpenduduk mayoritas Muslimin.
Demikianlah, salah kaprah dalam memvonis kafir membawa bencana bagi kaum Muslimin dan mencoreng wajah indah ajaran Islam, sehingga cap “terorisme” menempel secara paksa pada ajaran agama Islam yang mulia ini dan juga sebagian kaum Muslimin.
Sudah menjadi kewajiban para Umara (pemerintah) dan Ulama untuk membimbing mereka kembali kepada ajaran Islam yang indah nan suci, yang telah dipahami secara benar oleh para Sahabat dahulu. Lihatlah, bagaimana Khalîfah Ali bin Abu Thâlib radhiyallâhu'anhu mengizinkan dan mengutus Sahabat `Abdullâh bin Abbâs radhiyallâhu'anhu untuk mendatangi kaum Khawarij dan menjelaskan kesesatan mereka, sehingga akhirnya sebagian mereka kembali kepada kebenaran.
Akhirnya, kami mengajak kaum Muslimin untuk tidak mengikuti hawa nafsu dan bersandar kepada kedangkalan ilmu dan akal mereka tanpa merujuk kepada para Ulama Rabbani yang telah menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk menggeluti ilmu agama. Para Ulama pewaris para nabi yang sudah dikenal, memiliki komitmen yang teguh dalam membela, menyebarkan dan mengamalkan isi kandungan al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman yang benar.
Mudah-mudahan dengan demikian kita dapat mereka memahami dan mengamalkan agama Islam sesuai ajaran Rasul-Nya, sehingga menjadi umat terbaik dan generasi terbaik umat manusia.
Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs Ali Imrân/3:110)
(Qs Ali Imrân/3:110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allâh.

(Qs Ali Imrân/3:110)




(Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari)

Di zaman ini, kita melihat berbagai perkara baru telah ditambahkan ke dalam agama Islam. Baik tambahan itu berupa keyakinan, amalan, prinsip dan kaidah, atau yang lainnya. Hal ini benar-benar merusak kesucian Islam dalam urusan agama. Padahal Allâh Ta'âla telah menyempurnakan agama Islam ini bagi hamba-hamba- Nya, dan ini termasuk nikmat Allâh Ta'âla terbesar. Maka selayaknya orang-orang Islam meridhai agama Islam ini, sebagaimana Allâh Ta'âla telah meridhainya. Demikian juga, seharusnya mereka merasa cukup dengan ajaran agama Islam ini, karena memang Allâh Ta'âla telah menyempurnakan nikmat-Nya.


(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII)

PERTANYAAN :
Ana mau menanyakan apa hukum berpakaian bagi seorang Muslimah dengan warna pakaian terang. Apakah ada hadits yang menyatakan berpakaian warna gelap disunnahkan? Terkait di Indonesia misalnya, yang sudah menjadi hal umum berpakaian warna terang. Apakah bisa dijadikan dalil pembolehan yang berbeda dengan Muslimah di negara-negara Arab? Mohon penjelasannya.
Jazâkumullâhu khair.
Amri, Samarinda. +62852483xxxxx


(Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV : Rajab 1432H/Juni 2011M)

Kaum Syiah menuduh Ahlus Sunnah kurang dalam mencintai Ahlul Bait (keluarga) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Penyebabnya, karena Ahlus Sunnah tidak memberikan pengagungan kepada cucu Nabi yang bernama Husain radhiyallâhu'anhu sebagaimana yang dilakukan oleh Syiah. Syiah juga beranggapan telah terjadi permusuhan antara Sahabat dengan Ahlul Bait sepeninggal Nabishallallâhu 'alaihi wasallam.
Ini semua hanyalah tuduhan tanpa bukti sama sekali. Sejarah telah mencatat bagaimana hubungan erat antara mereka terjalin dengan baik. Justru golongan Syiahlah yang sebenarnya telah menampakkan kebencian, dengan melakukan pengagungan secara diskriminatif hanya kepada Husain radhiyallâhu'anhu dan keturunan Fatimah radhiyallâhu'anha semata. Padahal berdasarkan nash-nash dan keterangan Ulama, lingkup keluarga Nabi lebih luas dari pandangan mereka.
Dengan demikian, Syiah telah membenci para Sahabat yang ternyata memiliki kedekatan kekerabatan dengan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Siapakah Ahlul Bait itu? Bagaimana hubungan Sahabat Nabi dengan keluarga yang mulia itu? Silahkan simak penjelasan di Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV.

Artikel Terkait :
~ Kemuliaan Ahlul Bait dalam Pandangan Ahlus Sunnah (hal. 14)
~ Kelomok Menyimpang dalam Mencintai Ahlul Bait (hal. 23)
~ Hubungan Kekerabatan Antara Ahlul Bait dengan Sahabat Nabi (hal. 27)

Artikel Lainnya...

Halaman 1 dari 27
Awal
Sebelumnya
1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar